Header Ads

Header ADS

BREAKING NEWS :
Loading...

Stigma Politik ORBA: SARA, EKA, EKI dan ELI


Oleh Srie
Di zaman Orde Baru (ORBA), stigma politik ternyata tidak hanya SARA, yang merupakan sebuah akronim dari “Suku, Agama, Ras dan Antar golongan”. Dalam doktrin rezim ORBA, masih ada lagi stigma politik lainnya, yang merupakan pelengkap dari stigma SARA. Antara lain, adalah stigma politik “EKA, EKI dan ELI”.
Apa itu EKA, EKI dan ELI? Kalau masih sempat, tengoklah kembali buku-buku panduan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Penataran Kewaspadaan Nasional (TARPADNAS). Kedua penataran tersebut, diklaim sebagai bagian dari indoktrinasi ideologi Pancasila.

Sama seperti istilah SARA, maka EKA, EKI dan ELI merupakan stigma politik yang diberikan rezim ORBA atas pihak-pihak tertentu yang dianggap lawan-lawan politiknya. EKA adalah akronim dari Ekstrim KAnan. EKI, adalah akronim dari Ekstrim KIri, sedangkan ELI, adalah akronim Ekstrim LaInnya.
Ekstrim KAnan (EKA) digunakan untuk memberikan stigma politik atas kelompok politik yang dianggap ekstrim, yang berbasis pada fanatisme atau keyakinan agama tertentu. Ekstrim KIri (EKI) merujuk pada stigma politik atas kelompok masyarakat yang dianggap ekstrim dan dicurigai berpaham ideologi komunisme, marxisme dan marhaenisme.
Sementara itu, Ekstrim LaInnya (ELI), ditujukan pada kelompok ekstrim yang diluar ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Pada saat itu, ELI dijadikan stigma politik, antara lain pada kelompok yang dianggap berpikiran kritis, terutama pembela hukum, pegiat HAM (Hak Asasi Manusia), dan pegiat lingkungan hidup.
Stigma politik SARA, EKA, EKI dan ELI kerap dilontarkan oleh para pejabat, penguasa ORBA, beserta para pendukungnya kepada siapapun atau kelompok manapun yang dianggap kepentingan politiknya berseberangan. Selanjutnya, ketika stigma itu sudah ditempelkan, penguasa ORBA seolah memperoleh mandat dan legitimasi politik dan hukum untuk membungkam, melumpuhkan dan memberangus mereka, dengan berbagai cara.
Sang PANGAB Marah
Seorang teman pernah bercerita mengenai contoh praktek stigmatik tersebut, ketika ia mengikuti TARPADNAS tingkat nasional di wilayah Cibubur, Jakarta Timur, pada awal tahun 90-an. Menurutnya, pada waktu pagi dan siang hari, ada sejumlah peserta dari unsur mahasiswa yang memberikan tanggapan kritis sambil berdiri, saat seorang Jenderal, pejabat penting di kala itu, memberikan materi tentang kewaspadaan nasional.
Sang Jenderal lantas marah-marah, menyebut dan menunjuk-nunjuk mahasiswa sebagai ekstrimis (orang yang dianggap bersikap dan berperilaku ekstrim), dan meminta bawahannya untuk segera “mengamankan” sang mahasiswa. Selanjutnya, sore harinya sang mahasiswa dinyatakan hilang, dan tidak pernah berada lagi di ruangan penataran tersebut, hingga penataran berakhir setelah 2 minggu berlangsung.
Entah, apa yang sesungguhnya terjadi. Para mahasiswa menyebut, itulah konsekuensi dari “keberanian” sang mahasiswa dalam bersikap dan berlaku kritis, berani berbeda dan melawan pendapat para penguasa rezim ORBA. Kira-kira, secara mudahnya, seperti itulah salah satu fungsi stigma politik pada saat rezim ORBA.
Klaim di Atas Semua Golongan
Mereka, yang dianggap lawan-lawan politiknya dicap sebagai pengobar SARA, kelompok EKA, EKI atu ELI. Lantas, apa klaim penguasa rezim ORBA, kala itu? Mereka mengganggap dirinya sendiri sebagai berdiri di atas semua golongan.
Secara berkelakar, para aktivis mahasiswa saat itu menganggap klaim rezim ORBA sebagai ada benarnya. Katanya, sang rezim berdiri di atas rakyatnya sendiri (menginjak-injak) dengan menggunakan sepatu tinggi dan laras panjang?
Saat itu, angkatan bersenjata dianggap pengecualian, bukan disebut sebagai golongan.  Padahal, anggota ABRI (melalui Fraksi ABRI) yang duduk di lembaga legislatif, jelas-jelas sebagai mewakili golongan angkatan bersenjata.
Termasuk pula GOLKAR, tidak mau mengakui sebagai golongan (partai), meski secara jelas merupakan singkatan dari GOLONGAN KARYA. GOLKAR, saat itu mengklaim diri berada di tengah-tengah semua golongan, yang secara simbolik ditunjukkan dengan angka 2, nomor urutnya di saat Pemilu dari jumlah 3 partai yang ada.
SARA, Masih Ada
Lantas, bagaimana dengan saat ini, di zaman reformasi? Agaknya, stigma politik masih akan terus berlangsung, meskipun dalam bentuk, variasi dan intensitas yang berbeda. Stigma politik akan masih digunakan untuk keuntungan kawan, dan menjatuhkan lawan.
Bedanya, kini tidak lagi menggunakan stigma politik EKA, EKI dan ELI. Bedanya, GOLKAR, kini mengakui sebagai golongan (partai) dan tidak lagi berangka 2. Bedanya, angkatan bersenjata (TNI dan Polri), kini tidak lagi menjadi anggota legislatif lagi.
Persamaannya, adalah kini masih digunakan stigma politik dengan istilah SARA, terutama menjelang Pilkada. Persamaannya, kini masih digunakan stigma politik SARA, terlebih untuk kepentingan politik kekuasaan belaka.
Zaman silih berganti, namun akan selalu ada pengulangan dan keberlanjutan atas sesuatu, yang menjadi bagian dari perjalanan suatu bangsa. Semoga, sesuatu itu adalah hal-hal yang positif bagi kemajuan negeri ini. [] By Srie.



1 komentar:

  1. Terima kasih banyak atas isi artikel yang keren dan informasinya, Bu.
    (Catherine Maylina, 6, X MIPA 4)

    BalasHapus

Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Diberdayakan oleh Blogger.