Header Ads

Header ADS

BREAKING NEWS :
Loading...

03. Haji Gendut yang Sombong!


Oleh Sri Endang Susetiawati
Waktunya dianggap telah cukup. Misi hari ini dianggap telah terpenuhi. Si ibu memerintahkan anak-anaknya untuk segera pulang. Merekapun menuruti perintah sang ibu. Dengan perut yang sudah kenyang dan punggung yang telah menggendong barang, satu persatu mereka menaiki lagi pagar besi yang tinggi untuk dapat keluar dari lingkungan pabrik. 
Begitu pun dengan si ibu, dengan menggendong anak kecil dan barang bekas. Tak terkecuali dengan Fia, yang meski rasa takut masih menghinggapi, ia harus ikut memanjat pagar besi kembali. Tanpa harus beristirahat lagi, mereka terus berjalan kaki menjauhi pabrik, mengayunkan langkah demi langkah,  dengan mengulang rute jalan yang telah sering mereka lewati.
Sekarang, Fia menganggap telah tiba saatnya untuk mengajukan pertanyaan lanjutan kepada si ibu. Maka, ia pun mencoba untuk lebih mendekat. Ia coba pancing dengan kata-kata ulangan dari komentar si ibu sendiri.

“Pak Haji Gendut ternyata sangat sombong, ya bu ?”
Fia bersyukur, si ibu langsung membalas dengan tegas.
“Bukan hanya sok sombong, tapi juga suka menghina !”.
Fia bertanya lagi, “Apakah ibu pernah dihina oleh dia ?”.
“Dia siapa ?” si ibu balik tanya.
“Dia, Pak Haji Gendut itu” jelas Fia.
Si ibu tidak langsung menanggapi. Ada jeda beberapa detik lamanya sebelum ia melanjutkan bicara.
“Heh,  lagi-lagi si Haji Gendut”.
Fia menangkap adanya reaksi negatif dari si ibu. Nama Haji Gendut, sepertinya benar-benar sangat tidak disukai oleh dia. Namun, Fia terus berusaha untuk dapat membujuknya agar ia mau bicara. Fia mengulangi lagi pertanyaannya.
“Apa ibu pernah merasa dihina oleh Pak Haji Gendut itu ?”
Kali ini, si ibu sigap menjawab,
“Bukan pernah lagi, tapi dia sering menghina kami !”.
Fia masih terus melanjutkan pancingannya dengan trik yang sedikit lebih provokatif. Katanya, “Kok, orang bergelar haji masih suka menghina ?”
Si ibu menoleh ke arah Fia, dengan kedua matanya yang menatap tajam, memancarkan rasa kebencian.
“Ngakunya saja haji, padahal kelakukannya seperti setan !” ucapnya sangat keras dan terdengar kasar.
Fia tersentak saat mendengarnya, seolah belum siap menerima kalau gelar haji harus bersanding terucap dengan kata setan. Namun, bukan waktunya bagi Fia untuk melakukan pembelaan. Fia sadar hanya sekedar melakukan peliputan tentang kehidupan kaum pinggiran. Si ibu masih melanjutkan komentarnya tentang Pak Haji Gendut.
“Dia suka menghina, beraninya cuma pada orang-orang kecil seperti aku ini”.
Fia memperoleh kesempatan untuk memancing si ibu agar mau bicara lebih lanjut.
“Penghinaan memang sangat menyakitkan. Sangat tidak berperasaan” ucap Fia mulai berempati.
Ternyata berhasil. Tanpa harus bertanya lagi, empati Fia langsung menuai reaksi positif dari si Ibu. Ia berujar,
“Anda pernah menyaksikan bukan, bagaimana anak kecilku suka menangis dan merengek-rengek saat melewati warungnya ?”.
Fia menganggukkan kepalanya, seraya menanti kalimat lanjutan dari si ibu.
Si ibu melanjutkan ucapannya, “Sejak anakku tahu dan mengenal makanan bernama empal gentong yang pernah aku terima dari seorang dermawan, maka ia selalu minta makan dengan masakan khas Cirebon itu”.
“Oh, iya ?” ucap Fia spontan.
“Gara-gara si dermawan itu, yang membuat anak kecilku jadi rewel. Menyesal, aku menerima pemberiannya” ungkapnya.
“Menyesal ?” ucap Fia.
“Iya, itulah mengapa aku cabut kembali ucapan terima kasihku kepadanya”.
“Mencabut ? Maksudnya, kepada siapa, bu ?” pancing Fia lagi.
“Ya, kepada si dermawan itu. Nanti akan aku tunjukkan orangnya setelah sampai di gubugku”.
“Terima kasih, bu. Senang sekali, saya bisa mengetahui si dermawan yang telah bikin masalah bagi anak ibu” ucap Fia. 
Tepat melintas di depan warung Pak Haji Gendut, si ibu terus saja berjalan tanpa ada gangguan. Kali ini, anak kecilnya tidak terlihat rewel lagi. Tentu saja, karena ia telah terlelap dalam tidurnya. Perutnya yang telah kenyang, membuatnya merasa nyaman dalam gendongan.
Sang kakak pun, di depan terlihat riang sepanjang perjalanan. Suara tawa dan canda, sesekali terdengar bergantian dengan alunan nyanyian yang terlontar dari mulut mereka. Kecuali si ibu, yang terlihat tidak banyak berubah, tetap saja menampakkan sosok wajah yang dingin dan sunyi.
“Di sini, aku bersama anakku sempat terjatuh” ucap si ibu, yang sempat menghentikan langkahnya untuk sesaat,  sembari menunjuk di suatu titik dekat tiang listrik, di depan warung milik Haji Gendut.
Fia merasa senang saat si ibu memulai bicara. Meski sangat singkat, Fia sempat  mengamati arah titik yang ditunjukkan oleh telunjuk tangan kanan si ibu. Namun, ia belum memahami betul, bagaimana dan mengapa sehingga si ibu dan anaknya sampai bisa terjatuh.
“Maksudnya, ibu terpeleset di tempat itu ?” tanya Fia.
Masih sambil berjalan, si ibu memberikan jawabannya. “Tidak” katanya sambil menggelengkan kepala.
“Aku diusir paksa oleh si Gendut itu, lalu aku didorong, hingga terjatuh” kata si ibu lagi.
 Fia mulai menangkap alasan mengapa si ibu sangat benci kepada pemilik warung empal gentong itu.  Sambil tetap berjalan, Fia yang sesekali kakinya terantuk kerikil, dan wajahnya yang berusaha diarahkan agar dapat memandang ke wajah si ibu, terus melontarkan pertanyaan.
“Mengapa Pak Haji sampai berbuat tega seperti itu ?”.
Si ibu terus saja berjalan, dengan matanya yang terus menghadap lurus ke depan.
“Karena aku dianggapnya menjijikkan” jawab si ibu.
“Memang, apa yang dilakukan oleh ibu di warung Haji Gendut saat itu ?” tanya Fia.
“Semua gara-gara empal gentong” ujar si ibu.
“Maksudnya, bu ?”.
“Sejak kenal dengan empal gentong, anakku rewel terus setiap kali minta makan. Karena, nasinya harus disertai dengan empal gentong” jelasnya.
“Lalu...?” kata Fia.
“Aku datangi warung itu. Si Gendut keluar dari dalam warung. Oleh dia, aku diberi uang receh gope. Aku menolaknya. Aku bilang, aku bukan pengemis. Dia marah”.
Fia terlihat begitu serius mendengarkan penjelasan dari si ibu. Ia terus berusaha untuk lebih mendekatkan posisinya dengan perempuan yang sering dibilang si gembel oleh Haji Gendut.
Fia sempat melontarkan kembali komentarnya, “Kenapa, dia harus marah ?”.
Si ibu menjelaskan lagi tentang kejadiannya.
“Aku katakan, aku mau beli empal gentong. Ternyata, si haji gendut  menolaknya. Anakku terus rewel, merengek minta makan empal. Aku perlihatkan uang dua ribu, dia tetap tidak mau melayaniku”.
“Masa, sih. Sampai begitu ?” ucap Fia.
“Aku minta hanya beli kuahnya saja, dia malah mengusirku. Katanya, nanti para pelanggannya akan merasa jijik karena badan kumal dan pakaian gembelku. Setelah beberapa kali aku mencoba untuk membeli, aku benar-benar diusirnya oleh si Haji Gendut itu. Lalu aku didorong-dorong, hingga aku terjatuh” ujar si ibu, seraya menyeka matanya yang sempat terisak.
“Kelewatan...” komentar Fia.
“Aku terpaksa pulang dengan tangan hampa, dengan rengekan anakku yang tidak mau berhenti” ucap si ibu sedih.
“Saya turut prihatin, bu” kata Fia bersimpati.
Si ibu tidak memberikan reaksi. Entahlah, ucapan simpati Fia terdengar atau tidak oleh si ibu. Yang jelas, dia terus berjalan dengan mulutnya yang tetap terdiam. Fia mencoba untuk memancing pembicaraan lagi.
“Terus, setelah tahu Pak Haji Gendut meninggal karena diracun oleh seseorang, apa tanggapan ibu ?”.
“Aku senang saja” jawabnya singkat.
Lalu, ia menambahkan lagi dengan nada suara yang lebih meninggi.
“Dia memang harus mati !”. “Oh, iya...?” ucap Fia spontan.
“Peduli amat dengan dia. Mau dia masih hidup, atau sudah mati. Aku tidak peduli !” kata si ibu terlihat penuh amarah.
“Aku sudah terlanjur sakit hati” katanya lagi.
Si ibu menghentikan bicaranya. Rasa sakit di hatinya terus saja bergayut, seolah menuntut benci yang tiada henti, meski Haji Gendut telah mati. Ia terus saja berjalan, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Fia  masih berusaha untuk terus mengajaknya mau mengobrol.
“Terus....” ucap Fia belum selesai bicara.
“Sudah, cukup !” potong si ibu dengan nada keras.
“Tidak usah bertanya soal si gendut  lagi. Aku sangat benci” pintanya galak, setengah agak membentak.
Kereta api baru saja melintas. Fia terus saja terdiam, begitupun si ibu. Hingga, mereka berhenti berjalan kaki, saat sudah sampai di sebuah deretan gubug kumuh di sisi rel kereta api. ***By Srie
(Bersambung......)

Tidak ada komentar

Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Diberdayakan oleh Blogger.