Header Ads

Header ADS

BREAKING NEWS :
Loading...

Berpuasalah Secara Dewasa


Oleh Srie
Masihkah ingat pembagian tiga babak dalam bulan puasa ? 10 hari pertama penuh rahmat, 10 hari kedua penuh ampunan, dan 10 hari terakhir adalah pembebasan dari siksa api neraka. Agak mirip, laksana sebuah bentuk program sosialisasi dan promosi dari Tuhan kepada kaum beriman, agar mereka mau melaksanakan puasa.

Tak ubahnya iklan layanan publik yang berbunyi: 1 Puasa, 3 Keuntungan Ganda! 10 hari pertama puasa merupakan masa menumpuk pahala setinggi gunung Himalaya. 10 hari kedua puasa adalah masa mencuci bersih hingga putih kembali dengan sabun seterjen kualitas istimewa. 10 hari terakhir, dianggap sebagai masa pengampunan (amnesti) masal, agar bebas dari penjara bernama LP Neraka.
Mengapa puasa harus dilakukan secara persuasif ? Karena puasa dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan oleh sebagian besar manusia. Sehingga mereka akan merasa enggan untuk melaksanakannya. Ya, persis seperti anak kecil yang disuruh minum obat agar dapat segera sembuh dari sakit panas demam. Orang tua perlu membujuknya dengan berbagai cara, termasuk menjanjikan akan memberikan uang atau hadiah lainnya agar sang anak mau meminum obat.
Tak berbeda pula, saat orang tua pun membujuk anaknya untuk mulai belajar berpuasa. Maka, berbagai bujukan dan janji-janji biasa diberikan kepada anak-anak mereka agar mau memulai belajar puasa. Ada yang dengan cara memberikan uang, jika berhasil puasa di hari pertama, dan seterusnya. Ada yang dengan cara membiarkan mereka untuk menumpuk makanan yang lebih enak dan disukai, jika puasanya berhasil terlampaui. Bahkan, ada yang dengan cara akan memberikan hadiah istimewa, saat nanti menjelang berlebaran di hari raya.
Mengapa bujukan dan janji-janji perlu diberikan kepada anak-anak mereka ? Jelas, karena anak-anak belum paham secara memadai bahwa puasa sebenarnya sangat dibutuhkan olehnya. Sama, seperti obat yang tidak dipahami oleh anak-anak akan dapat menyembuhkan sakitnya. Anak-anak belum mampu menjangkau pemahaman sepenuhnya, bahwa puasa atau obat itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh dirinya, bukan sesuatu kewajiban yang harus “dipaksakan”.
Anak-anak memang harus dibiasakan untuk berpuasa. Proses pembelajaran (edukasi) tentang berpuasa perlu dilakukan oleh mereka. Sehingga, seiring dengan makin bertambahnya usia, maka pemahaman tentang puasa diharapkan akan lebih meningkat lagi. Pada saatnya, mereka tidak perlu lagi harus dibujuk atau dijanjikan macam-macam agar mereka mau berpuasa. Mereka diharapkan akan memiliki kesadaran sendiri bahwa puasa bukan lagi dirasakan sebagai sebuah kewajiban yang memberatkan. Namun, puasa sudah dianggap sebagai kebutuhan yang memberikan dampak positif bagi dirinya.
Pertanyaannya, masihkah kita membutuhkan bujukan dan iming-iming janji agar kita mau berpuasa? Tentu saja, hal ini merupakan sebuah pilihan. Apakah kita berpuasa secara lebih dewasa, ataukah tetap saja tidak mau beranjak dari berpuasa ala anak-anak meski terus bertambah usia?
Puasa secara dewasa adalah puasa yang dilakukan secara penuh kesadaran,  bukanlah dianggap sebagai kewajiban, akan tetapi diyakini sebagai sebuah kebutuhan. Puasa secara dewasa tidak perlu lagi berbagai macam bujukan atau janji-jani manis untuk memotivasinya. Berpuasa secara dewasa, pada akhirnya harus sampai pada pemahaman bahwa sesungguhnya puasa adalah demi kepentingan dirinya sendiri.
Tak perlu lagi untuk menumpuk pahala hingga setinggi gunung Himalaya. Karena segala kebaikan yang dilakukannya murni keluar dari hati nuraninya yang bersih, sehingga akan mampu menimbulkan efek kebahagiaan bagi dirinya.
Tak perlu lagi berpikir cuci bersih sampai putih kembali dengan sabun deterjen yang mumpuni. Karena segala noda yang melekat telah terbersihkan dengan sendirinya saat kita mohon pengampunan dan berkomitmen tinggi untuk tidak mengulangi lagi.
Tak perlu lagi untuk mengejar-ngejar pembebasan masal dari penjara neraka. Karena segala kesengsaraan bak neraka itu telah terbebaskan saat hati kita dalam keadaan tenang dan damai.
Ujilah hati kita pada malam Lailatul Qodar. Adakah kedamaian hati dapat dirasakan hingga terbit fajar ? Ya, puasa tak lain adalah sebuah bentuk pengecekan tahunan atas “ketenangan dan kedamaian hati. Apakah kita telah siap setiap saat, pada suatu ketika Tuhan akan memangilnya?
 Hai, jiwa yang tenang (damai). Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan (hati) ridha dan diridhoi (Tuhan). Maka, masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah kamu ke dalam surga-Ku” (Q.S. 89:28-30).
Surga memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang hatinya tenang dan damai. Itulah, sebabnya mengapa surga disebut juga sebagai Daarus Salaam, yang berarti Negeri yang penuh kedamaian. Negeri yang para penghuninya selalalu mengucapkan Salam.. Salam... Damai.. Damai....
Jadi, berpuasalah secara dewasa agar hati kita menjadi tenang dan damai. Hati yang akan mampu mengendalikan hawa nafsu. Hati yang akan berhasil untuk dapat menahan diri atas segala godaan yang tidak patut dan terlarang, yang akhirnya akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Hati yang akan mampu menebarkan ketenangan dan kedamaian bagi sesama di lingkungan masyarakat sekitarnya. Hati yang akan membawa perdamaian sejati bagi sesama umat manusia, sebangsa dan setanah air, serta seplanet bumi.
Karena, kedamaian hati dan perdamaian antar sesama adalah hakikat dari tujuan puasa secara dewasa, menuju “Negeri Perdamaian” di dunia, dan di akhirat kelak.  Marhaban, Ya Ramadhan! Selamat menunaikan puasa di bulan Ramadhan.*** By Srie
Salam Persahabatan
Srie

Tidak ada komentar

Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Diberdayakan oleh Blogger.