Header Ads

Header ADS

BREAKING NEWS :
Loading...

Fiksi Novel (Lanjutan) : Senyum Kemenangan


Oleh Sri Endang Susetiawati
Di siang hari yang telah dijanjikan, Zaza turun dari taksi berwarna biru di depan sebuah rumah makan khas Sunda “Riung Sari”, di kawasan Jl. Riau yang rimbun dengan pepohonan. Salah satu jalan yang terdapat banyak factory outlet terkenal di kota Bandung. Ia melenggang dengan balutan busana yang casual, celana jeans warna hitam, kaos lengan panjang warna krem, serta tutup kepala berupa kerudung warna biru muda. Tas kecil berwarna hitam terlihat menggantung di bagian bahu kirinya.
“Pas, setengah satu” gumamnya saat melirik jam tangan yang selalu setia menemani tangan kanannya.
 Hanya beberapa langkah saja ia berjalan. Seorang pemuda berperawakan cukup tinggi sedang, bertampang layaknya seorang aktivis mahasiswa, terlihat telah siap menyambut dengan penuh senyum mengembang di depan pintu masuk.
Meski sempat kaget, namun Zaza berusaha untuk bersikap santai, bahkan terkesan  masih agak sedikit cuek.
“Assalamu ‘alaikum..” ucapnya sambil menerima uluran jabat tangan sang pemuda.
“Wa ‘alaikum salam...”
“Sejak kapan, Ketua Senat FISIP jadi penerima tamu Rumah Makan ?” tanya Zaza, dengan tatapan mata yang berlagak heran.
“He..he.. Pastinya, sejak kedatangan tamu istimewa pada siang hari ini” jawabnya, sambil berusaha membalas tatapan mata Zaza, dengan wajah yang berbalut penuh senyuman.
“Hmm... belum juga berubah, kamu Caca” balas Zaza sambil menahan senyum.
Caca tidak lagi bermaksud untuk membalas kata-kata Zaza. Lalu, ia segera ajak Zaza untuk masuk ke dalam rumah makan yang penuh dekorasi dinding bambu hitam dengan beragam motif. Di sana-sini terpajang banyak hiasan khas sunda, seperti boneka si Cepot, payung pengantin yang terbuat dari kertas, lukisan gambar mojang priangan yang sedang menari ala burung merak, serta kolam air di tengah yang berisi ikan mas yang sedang menari, kian kemari.
 Pengunjung rumah makan, memang belum tampak terlalu ramai. Caca memilih tempat khusus di sudut sebelah selatan, yang hanya berkapasitas tempat duduk untuk empat orang. Bunyi gemericik air yang keluar dari dinding berhias ukir, jelas terdengar dari tempat mereka duduk. Keduanya yang duduk saling berhadapan, pun telah sepakat untuk memesan dua paket nasi timbel komplit, di tambah gepuk dan jus orange dingin.
Waktu pun terus berputar cepat. Tak terasa, hampir saja mereka menyelesaikan makannya. Caca menghabiskan nasi, beserta lauknya hingga menyisakan tulang ayam saja. Sementara, Zaza masih menyisakan cukup banyak nasi dan ayam bakar, kecuali gepuk yang habis. Usai mencuci tangan di wastafel yang berada di sampingnya, keduanya terlihat sama-sama sedang menikmati jus orange. Mereka hanya terdiam, tak ada kalimat berarti yang berhasil terungkap.

“Kok, dari tadi diam terus, sih ?” tanya Zaza, berusaha memecah kebisuan.
“Oh, iya ? Masa, sih.....” jawab Caca tergagap, sambil masih memegang gelas.
“Lah, iya. Memangnya, ada mahluk gaib apa, yang sedang bicara...?”
“He..he..he... Bukankah, dari tadi kita sedang bicara, Zaza ?”
“Maksudmu ?”

“Mulut kita memang diam, Zaza. Tapi, mata dan hati kita sedang bicara, bukan ?”
“Wah, anak FISIP berlagak jadi sastrawan, lagi....!”
“He..he... Tergantung juga, sih. Dengan siapa, aku berhadapan sekarang ?”  
“Jujur saja. Sekarang, aku masih sebel sama kamu, Caca...”
“Memangnya, kenapa ?”

Zaza terdiam untuk beberapa saat. Sepertinya, ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
“Enggak, ah. Diralat...”
Kok diralat ?”
“Iya, boleh, kan diralat ?”
“Zaza, aku jujur saja.  Saat SMS itu gak berbalas, aku merasa ada sesuatu yang hilang”
“Juga, saat teleponmu gak pernah aku angkat ?”
“Ya. Perasaan kehilangan itu, makin aku tak mengerti”
Maksudnya, apa ?”
Aku gak mengerti juga, apa sesungguhnya yang sedang terjadi ?”

“SMS yang dikirim saat siang dan dini hari ke aku itu, apa benar keluar dari hatimu ?” tanya Zaza
“Ya”
“Untuk sekedar menyenangkan aku ?”
“Tidak”
“Maksudmu ?”
“Menyenangkan hatiku juga”
“Aku gak ngerti”
“Setiap aku tulis dan kirim SMS itu, hatiku merasa nyaman”
“Hmm .....”
“Betul itu, Zaza”

Tidak ada komentar

Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

Diberdayakan oleh Blogger.